Seni dan Gerakan Sosial
Written by Paring Waluyo Utomo  |  28 November 2010

Di pagi yang cerah, tanggal 29 Mei 2010 ratusan warga Siring (barat), Kecamatan Porong, Sidoarjo bersama puluhan seniman dan aktivis membuat acara, mengingat kembali tragedi luapan lumpur Lapindo, yang pertama kalinya muncul pada tanggal 29 Mei 2006 silam. Arak-arakan memanjang keluar dari kawasan Siring (barat) menuju Jalan Raya Porong.

Massa berjalan dengan mengusung berbagai umbul umbul protes. Pada barisan massa paling ujung terdapat replika gurita yang menggambarkan “sosok Lapindo”. Gurita itu memiliki banyak tangan yang mencengkeram berbagai elemen negara dan bangsa. Dengan kuatnya sang gurita mencengkeram DPR, Partai Politik, Media Massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, Agamawan, dan Tokoh Masyarakat. Replika gurita yang diusung oleh empat orang seniman bertopeng bergerak menguasai jalan.

Namun perjalanan sang gurita dalam karnaval itu selalu diganggu oleh sang naga. Hadirnya sosok replikasi naga seolah ingin merepresentasikan cerita mitologis yang berkembang di kawasan Porong. Sebelum tragedi luapan lumpur,  warga desa di sekitar Porong meyakini bahwa didekat area Sumur Migas Banjar Panji 1, milik Lapindo Brantas Inc (LBI),  bersemayam ular naga.

Cerita mitologi inilah yang dipakai oleh Komunitas Taring Padi, Jogjakarta untuk membuat replika ular naga. Seolah ingin marah atas keadaan yang ada, dalam karnaval pagi itu, sang naga yang bernama Antaboga selalu memburu Gurita yang menyimbolkan “sosok LBI”.  Dalam tubuh sang naga bertuliskan:  Adili lapindo Penjahat Kemanusiaan dan Lingkungan. Untuk mengiringi kisah pertarungan gurita dan sang naga, ratusan warga korban lumpur, baik laki dan perempuan, anak anak dan dewasa membuat tetabuhan dari kentongan dari bambu. Mereka meneriakkan yel yel…adili lapindo, bayar aset warga.

Hampir setengah jam atraksi pertarungan naga dan gurita menutup Jalan Raya Porong, diiringi musik kentongan anak-anak Siring (barat), sementara para ibu mengangkat tinggi-tinggi beragam boneka kardus yang menggambarkan beragam protes atas keadaan yang mereka alami. Puas “menguasai” Jalan Raya Porong, iring-iringan peserta karnaval menuju ke atas tanggul lumpur. Didukung atraksi seni Buyung Perfomance Art, dari Salatiga dan Jim Cunningham, dari Australia, seluruh peserta karnaval tumpah ruah diatas tanggul lumpur. Mereka menyaksikan duet performance Buyung dan Jim yang berteatrikal menggambarkan penderitaan para korban lumpur.

Panas yang sedemikian menyengat dan bau gas metan menyesakkan dada, sama sekali tak mengurangi semangat warga bersama para seniman untuk  melanjutkan ekskpresi. Mereka melarung gurita ke dalam kolam lumpur. Sebelum dilarung ke kolam lumpur, belasan warga korban lumpur menumpahkan kemarahannya dengan memukul-mukul sang gurita, merobek-robeknya, sambil mengumpat dengan kata-kata khas Suroboyoan.

Bagaikan oase ditengah gurun, acara mengenang empat tahun semburan lumpur, satu demi satu warga berorasi menumpahkan semua kegundahan, kekecewaan, dan rasa marah mereka atas perlakuan Lapindo atas diri mereka. Sambil memegang microfon yang dipantulkan sound system, Cak Mat alias Mochamadn Zainul Arifin dari Renokenongo memulai orasi.

“Saudaraku semua para korban lumpur, kita ini tidak hanya menjadi korban Lapindo, tetapi menjadi korban dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Apakah korban lumpur ini masih diakui sebagai warga negara?”, demikian secuil kutipan orasi yang disampaikan oleh Cak Mat.

Orasi yang disampaikan oleh Saman dari Jatirejo, juga tak kalah heroiknya. Ia menceritakan pengalamannya ngeluruk kantor Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dengan hanya ditemani isterinya. Kenekatannya ngeluruk kantor MLJ karena frustasi tidak dapat membayar hutang kepada temannya. Sementara MLJ terlambat membayar angsuran 80 persen sampai lima bulan. Dengan bermodal nekat ia langsung masuk Kantor MLJ dan tidur diatas meja kerja karyawan MLJ, sementara isterinya tidur di kursi tamu.

Tak berselang lama, Saman diseret oleh petugas keamanan MLJ. Namun Saman melawannya. “Kami adu mulut hebat saat itu dengan petugas keamanan MLJ. Saya dikatakan tidak sopan, tidak tahu diri. Namun saya bisa menuding balik mereka. Apakah Lapindo sopan, dan tahu diri? Lapindo jauh lebih tidak sopan, tidak tahu diri, dengan merusak tatanan kehidupan kami yang telah nyaman”, tuturnya.

Keributan itu akhirnya mengundang salah seorang petinggi MLJ datang ke lokasi. Perlawanan dan kenekatan Saman membuahkan hasil. Ia dijanjikan Senin akan dibayar angsuran tanahnya sebesar lima juta rupiah, atau dua hari setelah ia ngeluruk ke Kantor MLJ. “Senin jam sepuluh pagi saya bersama isteri mendatangi Kantor MLJ, akhirnya saya mendapatkan pembayaran itu” ujar Saman penuh semangat.

Lain orang lain pula pengalamannya. Giliran Bang Rois alias Rois Hariyanto dari Siring berorasi. Ia menyampaikan pengalamannya berkali-kali dibohongi oleh Lapindo. Saat jatuh tempo pembayaran 80 persen pada tahun 2008, Lapindo tak segera membayarnya, padahal ia taat pada Perpres No 14 tahun 2007. Karena tak membayar ia mengadukan ke Komnas HAM. Oleh Komnas HAM ia bersama perwakilan korban lumpur lainnya diketemukan dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan Nasional.
Tercapai kesepakatan tertulis bahwa pembayaran 80 persen akan dibayarkan sesuai Perpres No 14 tahun 2007. Namun pemerintah tak bisa menjamin kesepakatan itu berjalan di lapangan. Akhirnya ia dengan sangat terpaksa, karena kebutuhan ekonomi, mengikuti program pembayaran 80 persen dengan skema angsuran. Meskipun sudah mengikuti program itu, nyatanya Lapindo tak kunjung membayarnya.

“Saya berulang kali mendatangi ATM Bank BRI, namun uang itu tak kunjung terkirim. Namun monitor ATM justru yang ada lambaian tangan..da..da..”, kelakar Bang Rois. Sontak, orasi itu disambut dengan gelak tawa ratusan korban lumpur yang memadati acara itu.

Saat hari menjelang sore, dan sang surya beranjak  menuju ufuk barat, giliran anak-anak korban lumpur yang mengisi acara. Puluhan anak-anak usia sekolah dasar dari Siring (barat) berduet dengan dendang kampungan dari Komunitas Taring Padi. Mereka bernyanyi dengan sangat ceria. Bernyanyi menceritakan kisah-kisah belajar bersama alam, serta kisah-kisah keceriaan anak-anak, meskipun ruang bermain mereka kian sirna seiring meluasnya luapan lumpur.

Roda waktu sedemikian pendek. Seolah belum puas bernyanyi, anak-anak itu harus berhenti sesaat, mereka diinterupsi oleh adzan maghrib. Namun selepas Isya’ kerumunan warga kembali muncul. Bahkan jumlahnya lebih banyak lagi, apalagi mereka mendengar puncak acara akan adanya penampilan wayang.

Lagu-lagu dendang kampungan berpadu dengan alunan bait-bait puisi anak-anak korban lumpur kembali memulai acara malam hari. Saat bait-bait puisi anak-anak mengisahkan cerita pilu, sebuah kenangan manis desa mereka, lalu berbalik 180 derajat menjadi kisah uraian air mata, seolah membungkam semua mulut yang ada di area panggung seni tersebut. Beberapa diantara perempuan tak kuasa menitikan air mata. Namun saat bait-bait lagu mengajak berjingkrak-jingkrak, dengan spontan para audien lintas umur itu ikut bergoyang, beberapa anak bahkan ikut berjoget diatas panggung.

Hari semakin larut, meskipun begitu suasana tanggul bagaikan masih sore, apalagi keramaian semakin mengisi ruang yang biasa kosong saat malam tiba. Kini giliran ekspresi Komunitas Wayang Kampung Sebelah (WKS) dari Solo mengisi acara. Konsep pertunjukan wayang yang dilakukan oleh WKS sangat sederhana namun super kreatif. Seolah ingin merepresentasikan namanya, “wayang kampung”,  WKS menggelar pertunjukkan wayang dari kampung ke kampung.

Pagelaran wayang oleh WKS tidak memerlukan panggung (stage). Mereka cukup menggelar karpet di samping tanggul lumpur Lapindo. Didukung 13 personel, WKS “merekreasi” konsep wayang menjadi lebih gaul dan popular. Sebuah pertunjukkan yang bisa membahasakan realitas dan persoalan-persoalan wong cilik. Berbeda dengan wayang purwa yang cenderung ‘asing’ dengan tradisi orang-orang Suroboyoan.

Tak hanya merepresentasikan tokoh rakyat biasa, WKS juga  merombak dukungan musikalitas. Kalau wayang purwa menggunakan gamelan sebagai supporting system, WKS justru menggunakan alat-alat musik modern seperti drum, gitar melodi, gitar bass, flute, dan biola. Seluruh pemain termasuk dalang juga menggunakan pakaian biasa, layaknya orang kampung.

Untuk semakin memanaskan suasana ditengah siraman cahaya bulan purnama, WKS membuka acara dengan menyuguhkan beberapa lagu yang dikemas dengan ciri khas WKS, lucu dan satiris. Misalnya saja mereka menyanyikan lagu Jawa berjudul menthok-menthok, namun alunan musiknya reggae, dipadu dengan susunan musik Hawaian.  

Setelah mengocok perut penonton dengan beberapa lagu, giliran pertunjukkan wayang dimulai. Cerita yang ditampilkan mengisahkan perjuangan dan kesulitan hidup korban lumpur, sebuah perjuangan panjang mendapatkan pembayaran tanah dan bangunan mereka dari PT.LBI.

Partisipasi yang Spontan

Berbeda dengan massa yang bergerak dalam masa-masa kampanye politik, yang syarat dengan mekanisme transaksi uang. Keterlibatan sebagian besar warga Kelurahan Siring, dan para pengais rejeki di sekeliling tanggul lumpur Lapindo dalam kegiatan memori bawah tanah, empat tahun tragedi lumpur Lapindo, berjalan dengan penuh kesadaran dan partisipasi. Memang ide dan konsep acara diprakarsai oleh Perkumpulan lafadl Initiatives dan Komunitas Taring Padi, namun sepenuhnya gagasan ini berjalan maksimal karena dukungan penuh dari warga korban lumpur dan para pengais rejeki yang ada di tanggul lumpur Lapindo, yang tergabung dalam Komunitas Tanggul Lumpur Lapindo.

Keterlibatan para korban lumpur dalam rangkaian kegiatan mengenang 4 tahun luapan lumpur, bukan saja pada saat puncak acara. Bahkan seminggu sebelumnya, bersamaan dengan hadirnya para seniman dari berbagai daerah seperti Jogjakarta, Solo, Salatiga, Surabaya, Sidoarjo, dan Jember ke Porong, warga korban lumpur telah ikut berproses.

“Kampung disini hidup lagi mas” tutur Cak Hendrik, seorang pedagang kelontong di Siring (barat) kepada saya. Seminggu  sebelum puncak acara mengenang 4 tahun luapan lumpur, hampir tiap malam  antara warga dan para seniman secara spontan berlatih berkesenian. Saat siang sampai sore, puluhan anak- anak korban lumpur secara spontan berkumpul bersama kawan-kawan Taring Padi mereka berlatih bernyanyi, menggambar, bermain musik, dan membaca puisi.

Ungkapan Cak Hendrik sebenarnya ingin menggambarkan bahwa dahulu sebelum ada luapan lumpur, desanya adalah kawasan yang makmur. Di Siring (barat) memang terdapat lima pabrik, seperti dua pabrik rokok, baja, es batu, dan plastik. Pabrik-pabrik itu memiliki karyawan yang sangat banyak. Sehingga banyak pendatang yang bermukim (indekos) di Siring. Selain banyak menyediakan jasa kamar kos, banyaknya karyawan pabrik digunakan oleh warga Siring (barat) untuk membuka warung-warung makan, bahkan hingga larut malam karena pabrik-pabrik itu rata-rata beroperasi 24 jam. Namun keadaan itu telah berlalu, banyak pabrik di Siring (barat) telah mengurangi jumlah karyawannya secara drastis, bahkan pabrik-pabrik yang berada di Siring (timur) telah tenggelam oleh luapan lumpur Lapindo.

Keadaan semakin memukul kawasan Siring (barat), saat luapan lumpur juga ikut mengaktifkan semburan-semburan berskala kecil dan besar ditengah-tengah kawasan mereka. Keadaan semakin membahayakan karena semburan semburan itu juga mengeluarkan beragam zat kimiawi yang dapat menganggu kesehatan manusia. Keadaan ini memaksa sebagian warga Siring (barat) untuk eksodus secara mandiri, bagi mereka yang memiliki modal. Namun bagi yang tidak mampu secara ekonomi, mereka tetap bertahan di lingkungan yang membahayakan diri mereka. Eksodusnya sebagian warga Siring (barat) inilah yang memunculkan ungkapan kampung mati,  sebagaimana yang diungkapkan oleh Cak Hendrik diatas.

Namun hadirnya seniman-seniman walau sesaat di Siring (barat), sedikit menggairahkan kembali kawasan tersebut yang selama empat tahun ini menjadi “kampung mati”. Beberapa hari sebelum puncak peringatan empat tahun tragedi luapan lumpur dilaksanakan, warga ikut bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau anak-anak usia sekolah dasar terlibat aktif dalam bermain menggambar dan menyanyi, kalangan remaja-dewasa terlibat aktif dalam kegiatan menyablon secara massal.

Komunitas Taring Padi menyiapkan dan menyediakan perangkat sablon berikut desainnya, sementara warga menyediakan kaos yang mereka pakai sehari hari untuk di sablon. “Soro bareng, seneng bareng”, “Adili Lapindo, Lunasi Korban”, begitulah setidaknya materi-materi yang tertuang dalam sablonan. Disadari atau tidak, materi sablonan itu telah menjelma menjadi materi kampanye para korban lumpur. Sebab, tak tanggung-tanggung jumlah kaos yang disablon oleh warga. Bahkan beberapa diantaranya, mengeluarkan koleksi baju mereka seisi lemari untuk disablon. Hebatnya lagi, aktivitas nyablon massal tidak hanya dilakukan di satu tempat, kawasan-kawasan lain seperti sablon diatas tanggul dan di Desa Gempolsari bahkan berlangsung hingga dini hari.

Desa Gempolsari sengaja dipilih sebagai lokasi menyablon, yang antuasias oleh warga setempat, karena puluhan warga di dua RT dikawasan ini belum mendapatkan uang sepeserpun dari Lapindo atas pembayaran tanah dan bangunan mereka. Padahal secara intensif Lapindo menyuarakan bahwa mereka telah melunasi pembayaran uang muka 20 persen, dan hanya tinggal menyelesaikan pembayaran 80 persen dengan skema diangsur.

Kegiatan Mandiri

Saat bergaul dan berinteraksi dengan warga, para seniman tak pernah terbenam dalam otaknya mengusung paket program, layaknya sebuah aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka tak pernah pula membuat cetak biru untuk membentuk masyarakat sebagaimana kemauannya, layaknya kebanyakan LSM yang beroperasi di Porong, yang dalam banyak kasus berujung konflik dengan masyarakat, yang semestinya masyarakat menjadi subyek terpenting dalam hal ini.

Terintegrasinya kegiatan kesenian yang dilakukan kawan-kawan seniman dengan gairah partisipasi warga lebih didasarkan pada penempatan korban sebagai aktor utama. Kesenian yang dirancang oleh kawan-kawan seniman tak lebih sebagai “software”, untuk menggairahkan kembali semangat korban lumpur yang telah terkotak kotak, dan masuk labirin politik yang tak memberi jalan keluar atas terlanggarnya hak-hak dasar mereka. Logika inilah yang sangat membedakan dengan cara kerja kawan- kawan LSM yang cenderung menomorduakan “advokasi kontekstual”.

Bahkan untuk memulai kegiatan ini kawan-kawan seniman dihadapkan rintangan yang tidak ringan, diantaranya masalah pendanaan. Namun problem ini segera teratasi ketika masyarakat luas ikut memberi kontribusi dalam kegiatan ini. Komunitas Taring Padi sendiri membuat fundrising dengan menjual lukisan dan tatto selama sepekan di el-pueblo café, Jogjakarta. Bahkan saat kegiatan berjalan di Porong, dukungan warga juga bisa diperlihatkan dalam hal yang sangat nyata. Meski hanya berinteraksi sebentar, banyak ibu-ibu di Siring (barat) tiap hari menyuguhkan makanan kecil, kopi, dan membuka pintu mereka seluas-luasnya untuk tempat berteduhnya kawan- kawan seniman yang jumlahnya puluhan orang dari berbagai daerah.

Kegiatan sepekan yang dilakukan oleh kawan-kawan seniman bersama warga korban lumpur dalam sekejab telah mengikatkan keduanya dalam pertalian hati yang begitu mendalam, khususnya dikalangan anak anak dan para ibu. Suasana haru tak terhindarkan saat kawan-kawan seniman berpamitan, meninggalkan Porong. Hampir orang sekampung keluar rumah, mengantar mereka dipinggir Jalan Raya Porong, disertai tetesan air mata. Seolah ada perasaan yang hilang diantara mereka, beberapa diantara ibu-ibu mengajak saya, sehabis lebaran untuk berkunjung ke Jogjakarta, bersua kembali dengan kawan- kawan seniman. “Mas, nanti kalau kami mendapat uang kontrak rumah dari BPLS, ayo kita ke Yogja naik kereta ekonomi”, demikianlah tutur kebanyakan ibu-ibu.

Suasana lebih haru juga terjadi pada anak-anak korban lumpur yang tiap hari berlatih menyanyi dan menggambar dengan kawan-kawan seniman. Mereka tak memiliki handphone, sesekali handphone saya dipakai untuk bercakap-cakap dengan kawan-kawan  seniman yang ada di Yogja dan Salatiga. Meski hanya sekejap berbicara, terpancar raut muka berseri diantara anak-anak itu.

Aneh, lucu, dan haru, sebab diantara anak-anak itu ada yang mengalami rasa kehilangan yang mendalam, sepeninggal kawan-kawan seniman dari Porong. “Anak saya tak bawa ke dukun mas, saya khawatir dia tak mau sekolah dan ngaji, sebab merengek-rengek ngajak ke Yogja terus”, ungkap salah seorang ibu kepada saya, hanya untuk menggambarkan suasana batin anak mereka.

Inikah kegiatan yang bermakna? Inikah pertemanan yang begitu berharga bagi para korban lumpur? Saya tidak tahu persis untuk menjawab. Namun yang pasti, interaksi singkat itu menjadi catatan penting dalam benak warga, dan menjadi perbincangan berhari-hari di internal mereka. Semoga saja memang begitu adanya, bahwa aktivitas kecil ini benar-benar memberi suasana batin yang bermanfaat untuk mereka.