Bencana Ke(Pem)bakaran dan Perubahan Cara Pandang Kita
Written by Ari Ujianto  |  30 September 2010

Malam itu sekitar jam 22.00 WIB,  Eci Kusumawati, biasa dipanggil Nenek Della (62) bersama dengan beberapa  warga Kebun Tebu keluar rumah setelah mendengar teriakan yang mengabarkan ada orang yang mencurigakan mengendap-endap di lorong-lorong rumah panggung penduduk. Warga kemudian mulai menguber-uber orang tersebut tapi tidak juga menemukannya. Satu jam kemudian api mulai berkobar di salah satu rumah dan dengan cepat menyebar ke rumah-rumah lainnya. Beberapa warga yakin kebakaran itu terkait dengan orang yang mencurigakan yang diuber-uber beberapa jam sebelumnya. Malam itu, 19 September 2002, kebakaran besar terjadi di kampung Kebun Tebu, Muara Baru, Jakarta Utara yang menyebabkan 1.100 keluarga atau sekitar 3.500 jiwa kehilangan tempat tinggal.1

Setahun kemudian kebakaran besar kembali terjadi di wilayah Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kali ini terjadi di Kampung Empang Damai,Kelurahan Kapuk Muara, yang menyebabkan 200 rumah yang dihuni sekitar 250 keluarga habis terbakar. Seperti  yang terjadi di Kebun Tebu setahun lalu, kebakaran kali ini  juga disebabkan faktor kesengajaan atau dibakar orang. Di kampung tersebut telah dua kali terjadi percobaan pembakaran tapi gagal. Dugaan terjadinya pembakaran semakin menguat karena kejadiannya berlangsung di saat liburan lebaran dan para warga sedang mudik ke kampung. Apalagi rumah yang diduga api berasal sedang kosong karena penghuninya mudik dan aliran listrik dimatikan oleh ketua RT setempat.2

Dua peristiwa yang disebutkan di atas adalah contoh bagaimana kebakaran besar yang menimpa kampung-kampung miskin (informal) di Jakarta yang terjadi selama ini patut diduga sebagai bencana yang dirancang atau disengaja. Apalagi selama ini kebakaran sering terjadi di permukiman informal yang ada persoalan dengan legalitas tanah, minimal dalam status sengketa. Dua kampung yang disebutkan di muka mempunyai status seperti itu. Hal tersebut kembali dikuatkan dengan kebakaran yang terjadi di permukiman informal Tanjung Wangi dan rumah susun Melati, RT 06/12 Tanah Merah, Penjaringan (27/09/2010); kebakaran di RT 10/RW 04, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan (20/04/2010); dan kebakaran di Kapuk Muara Ujung, Rt 01 dan 02/ RW 02, Penjaringan, Jakarta Utara (05/06/2010).  

Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan yang pernah disampaikan Kasudin Trantib Jakarta Utara Toni Budiono, pada tahun 2001, yang menyatakan pembakaran atau bumi hangus merupakan salah satu taktik dalam operasi penertiban bangunan liar seperti bantaran kali. Dalam keadaan terpaksa, pembakaran bangunan ditempuh untuk memudahkan operasi membongkar.3

Tak bisa dipungkiri modus pembakaran ini sangat efektif dan efisien karena perumahan di kampung-kampung miskin terbuat dari bahan yang mudah terbakar. Menurut Davis, dengan berdasar  penelitian di sejumlah negara Asia, kebakaran slum seringkali bukanlah sebuah kecelakaan melainkan kesengajaan, karena daripada menanggung biaya prosedur pengadilan atau terus-menerus menunggu perintah pembongkaran resmi, para tuan tanah dan developer seringkali lebih memilih sesuatu yang mudah yaitu pembakaran  (2006 :127). Nah, kalau di Indonesia tidak hanya tuan tanah atau developer, tapi juga pemerintah kota yang melakukannya.

Tentu saja kebakaran besar yang sering terjadi di kampung-kampung informal tidak hanya disebabkan kesengajaan atau dibakar oleh pihak lain yang ingin menyingkirkannya. Sebab-sebab lain misalnya korsleting listrik, kompor gas mledug karena pemasangan dan perangkat yang buruk, puntung rokok yang dibuang sembarangan. Kebakaran sering terjadi dan sulit diatasi karena bahan-bahan bangunan di permukiman informal merupakan bahan yang mudah terbakar,letak rumah yang saling berdempetan karena kepadatannya, instalasi listrik di permukiman yang tidak aman dan terawat dengan baik, lokasi yang sulit dijangkau mobil pemadam kebakaran, tidak adanya sumber air/ hidrant yang bisa digunakan untuk kondisi darurat.

Kebutuhan akan Perubahan Cara Pandang Kita
Berdasar uraian di atas, bencana kebakaran yang terjadi di kawasan perkotaan tak bisa dipisahkan dari cara pandang kita dalam menghadapi kemiskinan perkotaan dan bagaimana menempatkan rakyat miskin dalam penataan kota. Selama ini warga yang tinggal di permukiman informal (slum) dianggap sebagai beban dan bukan menjadi bagian dari penduduk kota, sehingga pemerintah kota sering berupaya untuk menyingkirkannya lewat penggusuran, peniadaan fasilitas dasar, dan pembiaran lingkungan dalam kondisi tidak layak. Alih-alih direnovasi atau di upgrade yang dilakukan justru bagaimana menghilangkan mereka dari kota.

Tetapi seperti kita lihat, meski terdesak dalam kondisi buruk dan terus menerus disingkirkan dari kota, rakyat miskin akan kembali dan mencari pelbagai macam cara untuk tetap tinggal di kota. Bagi rakyat miskin, walau tinggal di lahan atau kawasan berbahaya dengan feng shui terburuk sekalipun, akan lebih baik daripada tidak punya penghasilan. Inilah kiranya yang tidak pernah disadari oleh beberapa kalangan penguasa kota. Operasi Yustisi Kemanusiaan (OYK) yang memulangkan para urban yang masuk Jakarta, telah terbukti tidak efektif dalam mengurangi migrasi dari kampung ke kota, khususnya Jakarta.  Untuk itu yang diperlukan pertama kali untuk mengatasi persoalan bencana sekaligus kemiskinan di perkotaan adalah mengubah cara pandang kita terhadap berbagai hal yang terkait dengan pembangunan dan pengelolaan kota melalui beberapa pendekatan.

Pertama, dengan mengelola dan mentransformasi keterkaitan pembangunan desa dan kota. Selama ini memang sudah terjalin hubungan antara desa dan kota baik secara ekonomi, sosial, dan budaya. Tetapi hubungan tersebut dirasakan tidak adil atau bisa dikatakan eksploitatif, karena hanya kota yang diuntungkan sedangkan desa dirugikan. Mengalirnya bahan-bahan pertanian dari desa ke kota misalnya tidak juga menyejahterakan para petani desa, tetapi menguntungkan para konsumen di kota dan distributornya. Konsumen yang sebagian besar tinggal di kota selalu menginginkan harga murah sedangkan petani untuk menanam membutuhkan biaya yang semakin besar, misalnya untuk bibit, pupuk, belum lagi ketergantungan pada pestisida selama ini. Jika pun harga pertanian menjadi tinggi, bukan petani yang menikmatinya tetapi para tengkulak, pengijon, dan distributor hasil pertanian tersebut. Kondisi ini menjadi salah satunya sebab penduduk desa tidak mau menjadi petani lagi karena selalu rugi, sehingga menjual tanahnya dan mencari peruntungan ke kota.

Jika warga desa bisa sejahtera dan meningkat kualitas hidupnya, tentu akan betah tinggal di desa dan tidak tergiur pergi ke kota. Hal ini sudah disadari oleh India sehingga negara India membuat kebjikan yang memastikan bahwa hidup di desa bisa sejahtera dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini tentu langkah yang tepat karena sebagian besar yang melakukan migrasi dari desa ke kota, khususnya Jakarta, terkait dengan masalah peningkatan ekonomi keluarga, sehingga tinggal di permukiman kumuh pun akan dijalani untuk bertahan hidup. Untuk itu negara, khususnya pemerintah, perlu mengambil kebijakan yang secara prinssip bisa mengubah ketimpangan desa dan kota.

Kedua, mengintegrasikan penanganan bencana, khususnya kebakaran, dengan strategi penghapusan kemiskinan. Jika pun akhirnya penduduk desa berduyun-duyun ke kota dan menempati permukiman-permukiman informal, harus dipastikan bahwa permukiman tesebut menjadi layak untuk ditinggali. Untuk itu perlu strategi mengurangi dan menghapus kemiskinan perkotaan dengan pengelolaan permukiman yang selain akan menjauhkan dari bencana kebakaran, juga akan meningkatkan kualitas hidup warganya. Program upgrading atau renovasi kampung adalah salah satu caranya.

Upgrading kampung selain membuat warga kampung informal menjadi terjamin hak tinggalnya juga bisa hidup dalam lingkungan yang sehat dengan fasilitas dasar yang mudah diakses. Tak bisa dipungkiri keamanan tinggal bagi rakyat miskin kota adalah persoalan yang krusial. Penyelesaian masalah ini bisa dikatakan telah menyelesaikan masalah kemiskinan mereka, karena persoalan pekerjaan yang digeluti  rakyat miskin kota terkait dengan tempat tinggal mereka. Ini yang menyebabkan mereka sering pindah atau menolak jika ditempatkan di rumah susun yang jauh dari tempat kerjanya. Dengan demikian, upgrading kampung dan bukan menggusur kampung merupakan solusi bagi keamanan tinggal dan keamanan terhadap pekerjaan. Selain itu, tentu saja, upgrading ini setidaknya bisa mengurangi bencana kebakaran di kampung yang biasanya dipicu oleh sengketa tanah yang kemudian terjadi pembakaran, serta mengurangi terjadinya korsleting karena pemasangan instalasi listrik yang buruk.

Ketiga, menempatkan warga miskin atau yang tinggal di permukiman informal sebagai subyek pemecah masalah bukan sebagai masalah yag harus disingkirkan. Ini mensyaratkan upgrading yang disebut di atas tidak sekedar persoalan fisik saja, tapi juga menata atau mengorganisasikan dan melibatkan warga dalam mengelola komunitasnya sendiri maupun kota secara umum. Dengan demikian kohesi sosial  dan rasa memiliki kampung akan menguat sehingga mereka bisa saling dukung dan gotong-royong dalam penanggulangan bencana atau melakukan respon ketika bencana terjadi dan penanganan setelahnya.Dengan pelibatan warga dalam penyelesaian masalah tersebut menjadikan biaya penanganan bencana di kota juga menjadi hemat.

Dengan cara pandang dan pendekatan seperti yang diuaraikan di atas, setidaknya bisa menjadi jalan keluar terhadap masalah bencana kebakaran besar yang terjadi tiap tahun di Jakarta  yang telah menyebabkan banyak penduduk kehilangan rumah dan segala isinya, termasuk penghuninya. Apalagi kebakaran tersebut terjadi di permukiman padat penduduk dan perumahan yang merupakan tempat tinggal mereka yang berpendapatan rendah. Pendekatan tersebut juga menempatkan warga miskin sebagai subyek penyelesaian masalah dan adanya keberpihakan dari negara untuk meningkatkan kualitas hidup mereka melalui pelbagai kebijakan, seperti peningkatan kesejahteraan dan keadilan baik di kota maupun di desa.

 

CATATAN

  1. Wawancara dengan Nenek Della, 25 Juni, 2009 dan berita di http://www.tempointeractive.com/hg/jakarta/2002/09/27/brk,20020927-17,id.html
  2. http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2003/12/09/brk,20031209-01,id.html
  3. Kompas, 2 Nopember 2001