Essay

Essay / 26.06.2009 / Poppy S. Winanti
Melacak Asal-Usul Neoliberalisme
Neoliberalisme. Kata yang kerap menjadi sumber kontroversi pada beberapa dasawarsa terakhir. Para pengusungnya percaya bahwa neoliberalisme merupakan...
++ more
Riset
Change of Gender and Intergenerational Relations in Mud Affected Households in East Java, Indonesia
Written by administrator  |  12 July 2009

Mud volcano eruption in Porong, East Java, Indonesia in May 2006 has forced more than 40,000 people to migrate. The huge scale of its impacts (see: mud flow impact) has invited debates among scientists, policy makers and community organizers. Some are focusing on nature of disasters (natural vs unnatural) or its environmental effects (Davies et al. 2007; Mazzini et al. 2007; Manga 2007; Davies et al. 2008; Abidin H.Z et al. 2008; Satyana al. 2008; Tingay et al. 2008; Mazzini et al. 2009; Sawolo et al. 2009; Istadi et al. 2009; Fukushima et al. 2009), some dealing with social-political management of the disaster (Schiller et al. 2008; Muhtada 2008), and some other on social and economic impacts of the disaster to local economy (McMichael 2009). While those contribute to give a clear picture of the nature of the problem, they are occupied either on technical aspect of disaster or on socio-economic-political aspects at macro/aggregation level. So far, there is no literature dealing with the disaster impacts at micro level, such as families and households, where relations among individuals are likely affected by the loss of homes and of livelihood due to the disaster.

Download Poster

 
Terperangkap dalam Transisi: Praktik Program PHBM di Kabupaten Jepara
Written by Achmad Uzair  |  01 March 2009

Dewasa ini tampaknya tengah terjadi perubahan dominasi wacana dalam gaya pengelolaan kekuasaan di banyak negara di dunia, dari yang semula terpusat di tangan pemerintah pusat ke tangan pemerintah lokal. Menurut Arun Agrawal, sebagian besar perubahan itu terjadi karena tiga faktor penting; yaitu adanya dorongan perubahan dari dalam faksi pemerintah sendiri, tekanan dari donor internasional dan tuntutan dari aktor-aktor lokal. Perubahan dominasi wacana di tingkat global ini setidaknya terlihat dari jumlah negara yang tengah melakukan program desentralisasi yang mencapai lebih dari 60 negara.

Secara garis besar, menurut Larson, implementasi desentralisasi itu biasanya mengambil salah satu dari dua bentuk berikut; desentralisasi administratif (lazim disebut sebagai dekonsentrasi) atau desentralisasi demokratis (democratic decentralization). Dekonsentrasi adalah transfer otoritas ke pemerintahan di bawah pemerintahan pusat, atau ke lembaga pemerintah lokal lainnya yang bertanggung jawab “ke atas” (pemerintah pusat). Sedangkan democratic decentralization adalah transfer otoritas kepada aktor-aktor lokal yang representatif dan bertanggung jawab “ke bawah”. Sesuai dengan namanya yang mengusung tema dominan demokrasi, desentralisasi demokratis ini dipandang sebagai desentralisasi yang ideal asalkan dilengkapi dengan syarat terjaminnya discretionary power yang dimiliki oleh aktor lokal tersebut sehingga ia mampu mengambil keputusan yang otonom dan mencerminkan kepentingan lokal. Beberapa tujuan utama desentralisasi yang biasa disitir adalah untuk meningkatkan pelayanan masyarakat secara lebih baik (efisiensi), peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi (democracy), keadilan dan pemerataan (equity).

Bersamaan dengan pengukuhan dominasi wacana desentralisasi tersebut, terjadi pula pergeseran wacana dalam isu pengelolaan sumber daya alam. Pergeseran wacana yang dilandasi oleh perubahan konseptual dalam ilmu ekologi tersebut berwujud dalam dominasi wacana konservasi yang berbasis komunitas (community-based conservation). Munculnya wacana konservasi berbasis komunitas ini sebagian merupakan reaksi terhadap gagalnya koservasi yang eksklusioner, di tengah semakin pentingnya faktor sosial dan ekonomi sebagai penentu keberhasilan konservasi. Wacana ini juga muncul berkat menguatnya gagasan yang menyatakan bahwa jika konservasi dan pembangunan bisa dilakukan secara simultan, maka tidak mustahil tujuan keduanya bisa terpenuhi. Kian populernya konsep ini membuat kita sulit menemukan proyek konservasi yang tidak mendefinisikan dirinya sebagai konservasi yang berbasis komunitas (Berkes, 2002). Menguatnya wacana konservasi berbasis komunitas yang menitikberatkan peran komunitas lokal ini dipandang paralel dengan tujuan desentralisasi yang ingin melokalisasi kekuasaan.

++ more
 
Nalar Kolonial dalam Bantuan Pembangunan: Episode Awal Perjalanan di Komunitas Samin
Written by Heru Prasetia  |  01 March 2009

Setelah sekitar satu jam perjalanan bus dari pusat kota Pati plus perantaraan kendaraan ojek, kami menjejak tanah sebuah desa yang tampak tak ada bedanya dengan desa-desa kebanyakan. Di sekeliling desa itu terbentang persawahan yang meyakinkan kita bahwa buahnya siap dipanen, sebuah pemandangan yang khas agraris. Tetapi dibalik “ketenangan” tersebut, tersembunyi siasat resistensi yang sudah mendarah daging selama puluhan tahun. Di desa inilah sekitar 125 keluarga komunitas Samin tinggal.

Komunitas Samin ini adalah para pengikut ajaran Saminisme yang pertama kali disebarkan oleh Samin Surontiko pada pertengahan dasawarsa 1890. Mereka adalah satu dari sekian komunitas Samin yang tersebar di beberapa kabupaten di Jateng dan Jatim. Dalam pandangan umum, komunitas ini dilihat sebagai komunitas yang sangat berbeda dari masyarakat Jawa kebanyakan karena memiliki “bahasa”, agama, dan filsafat hidup yang khas. Ditambah dengan sikap mereka yang relatif menegasikan keberadaan negara, komunitas ini semakin menjadi “yang lain” di tengah-tengah menguatnya penetrasi negara dan modernitas. Perbedaan inilah yang barangkali menjadi pertimbangan utama pengkategorian komunitas ini sebagai masyarakat adat tertinggal, seperti yang dinyatakan dalam bantuan pembangunan pemerintah kabupaten dan Propinsi Jawa Tengah untuk komunitas ini.

++ more
 
Komunitas Wetu Telu Lombok bertahan di tengah badai
Written by Heru Prasetia  |  01 March 2009

Kecamatan Bayan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dikenal sebagai pusat sekaligus benteng terakhir keyakinan dan adat wetu telu di pulau Lombok. Di kaki Gunung Rinjani sebelah utara inilah bertebaran desa-desa yang didiami oleh para penganut sistem adat dan kepercayaan wetu telu. Masyarakat di luar komunitas wetu telu sering menganggap mereka sebagai penganut ajaran sesat yang lebih menyerupai sinkretisme. Oleh masyarakat di luar Bayan, istilah wetu telu sering disalahartikan menjadi wektu telu (waktu tiga) dengan anggapan bahwa mereka hanya mengenal tiga kali ritus ibadah.

Menurut penganut Wetu Telu, wetu telu bukan berarti waktu tiga (seperti yang sering dituduhkan) tetapi berasal dari kata metu (muncul), tiga kemetuan (kemunculan), yakni beranak, bertelur, dan tumbuh. “Begitulah isi dunia ini tercipta” tandas Amaq Riajim, seorang kiai adat di Bayan. Itulah dasar dari konsep wetu telu. Masing-masing mahkluk yang tercipta melalui tiga cara itu mempunyai cara untuk saling menyeleraskan. Berbagi hidup di dunia. Demikian juga dengan manusia. Karena itulah, masyaraat wetu telu sangat banyak melakukan ritus pribadi disamping upacara-upacara adat bersama. Rumusan itu pulalah yang diberikannya pada pemerintah sekitar tahun 70-an ketika para pemuka adat wetu telu di Bayan dimintai keterangan soal adat mereka.

++ more
 


Buku


Teman-temanku dari Atap Bahasa
Afrizal Malna dikenal sebagai penyair yang mampu melakukan pembebasan kata dari makna-makna sosial yang sudah melekat...
++ more

Share it

Lafadl Initiatives
Jl. Dayu Baru No. 1A
Sleman Indonesia - 55581
t. 0274 - 888726 f. 0274 - 566171
e. [email protected], [email protected]
w. lafadl.org

Join Our Mailist

Type your email address
» more aboout Lafadl Mailist