Makna "Manusia" dalam Lintas Batas Kebudayaan: |
Oleh Hasrul Hanif* | Minggu, 16 Desember 2007 | |
Dari Objektifitas ke Solidaritas, Dari Rasionalitas ke Sentimentalitas Perdebatan universalisme dan partikularisme dalam isu hak asasi manusia gagal menemukan ruang kesepakatan. Kondisi ini terjadi justru karena dua kubu tersebut berada pada nalar pikir yang sama. Tanpa disadari sepenuhnya, keduanya seringkali terjebak pada jargon-jargon essensialisme.Gagasan tentang hak asasi manusia dalam kesadaran manusia dianggap sebagai produk jadi bukan berasal dari sebuah kesadaran yang bersifat diskursif dan historis serta tidak terlepas dari batasan-batasan sosial komunitas. Satu hal lainnya yang tidak pernah disadari pula adalah basis filosofis gagasan hak asasi manusia yang terlihat kompleks tersebut sebenarnya terjebak pada mimpi-mimpi fondasionalisme yang sama. Mereka berpijak pada basis epistemologis dan ontologis dasar yang lahir dari basis trasendental dan metafisik. Sebagai bagian dari proyek pencerahan yang didengungkan oleh manusia semenjak abad pertengahan, gagasan tentang hak asasi manusia dihadirkan di atas pemujaan akan rasionalitas Cartesian sebagai basis kebenaran manusia.Sembari pada saat yang bersamaan terus menerus secara ontologis mengklaim diri manusia sebagai pusat eksistensi kehidupan (anthroposentris). Kuatnya nalar berpikir essensialisme dan fondasionalisme tersebut ternyata membawa implikasi serius dalam isu hak asasi manusia. Kecenderungan tersebut tidak hanya menjadi membawa gagasan universalisme maupun partikularisme menjadi bahan dagangan dalam proses kontestasi, pertarungan dan negosiasi politik global maupun domestik semata. Dua kecenderungan nalar berpikir yang sangat hegemonik dalam alam pikir manusia modern tersebut juga telah memenjara pemaknaan kita tentang hakekat, asal-usul dan cerminan manusia sejati. Sebagaimana kita ketahui, dalam sejarah manusia, pemaknaan akan asal-usul dan cerminan manusia sejati lahir dari klaim-klaim transendetal dan metafisis.Dalam fase sangat panjang manusia mencoba jawaban dari refleksi-refleksi platonis tentang apa hakekat asal-sul kita?. Jawaban objektif yang kemudian muncul adalah manusia sejati didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki kriteria anatomi tubuh dengan fisik yang sempurna dan lengkap, memiliki penis, tidak memiliki kulit berwarna, dan dewasa.Mereka yang tidak memiliki anatomi tubuh yang lengkap; yang tidak memiliki penis atau penisnya terpotong maupun terpenetrasi oleh penis; perempuan dan bukan manusia dewasa tidaklah bisa dikategorisasikan sebagai manusia sejati dan seutuhnya. Ironisnya, keyakinan fondasional tersebut justru memicu munculnya praktek-praktek dehumanisasi yang lahir dengan dalih pemurnian eksistensi kemanusiaan dari unsur-unsur yang manusia-setengah binatang atau manusia semu (pseudo humanity). Berbagai tragedi kemanusian dan genosida lahir dari hasrat manusia untuk meniadakan yang bukan manusia. Atas nama menjaga kemanusiaan sejati (true humanity), Komunitas Serbia menghabisi Muslim Bosnia, Nazi mengagungkan bangsa Arya dengan praktik Holocoust, dsb. Ekploitasi anak dan perempuan dianggap sebagai sebuah kewajaran.Sedangkan peminggiran terhadap komunitas difable yang tidak lengkap dan sempurna secara anatomi tubuh dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Maka tidak menutup kemungkinan untuk menemukan basis pijakan lain dalam mendefinisikan serta memaknai manusia, esensi kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Basis pijakan ini tidak lagi terjebak pada mimpi-mimpi metafisis dan transendetal serta berhasrat dengan susah payah untuk mencari basis fondasional atau epistemologi untuk menemukan justifikasi objektif. Basis pijakan yang baru ini lebih bernuansa pragmatisis dan kecenderungan berpikir post-fondasional. Kita berusaha keluar dari pengetahuan tradisional, transendental, dan fondasional justru dengan mencoba mencari basis pijakan pengetahuan termasuk juga pengetahuan tentang eksistensi manusia- yang lebih historis.Kita juga menolak asumsi bahwa kebenaran (truth) sebagai korespondensi dengan realitas yang kemudian meyakini bahwa ada prosedur obyektif untuk menemukan justfikasi rasional yang membawa kita pada kebenaran. Dalam gagasan baru ini, kebenaran lebih merupakan sesuatu yang kita anggap sebagai yang baik. Hasrat untuk menciptakan objektifitas tidak dilalui menarik perdebatan pengetahuan dari akar komunitas yang plural untuk menemukan justifikasi rasional.Objektifitas pengetahuan justru lahir dari sebanyak mungkin komunikasi intersubjektif yang berlangsung. Pengetahuan yang sifatnya seperti ini akan dicapai apabila ada usaha untuk melanjutkan dialog kebudayaan (conversation of culture) antar komunitas meskipun kadang terkesan naif. Objektifitas kini digantikan dengan solidaritas. Seseorang yang membangun basis pengetahuannya berdasarkan solidaritas tidak pernah mempertanyakan hubungan antara praktik-praktik komunitasnya dengan yang ada di luar komunitasnya. Namun seseorang yang ingin mencari obyektifitas, akan cenderung membangun jarak dengan dengan realitas sekelilingnya dimana dia justru menjadi bagiannya dengan melekatkan dirinya dengan sesuatu yang dianggap tidak bersentuhan dengan salah satu budaya atau komunitas yang ada. Tentu saja, proses ini juga mensyaratkan adanya dekontruksi basis dasariah epistemologi manusia. Dibutuhkan upaya untuk merayakan basis pijakan pengetahuan manusia menjadi lebih plural. Logosentrisme rasionalitas dalam manusia modern sudah saatnya digugat justru dengan kembali kepada semangat-semangat Pencerahan awal yang menjadikan rasionalitas sebagai logos bukan mitos. Oleh karena itu basis etis bagi hak asasi manusia tidak lagi terlahir dari moralitas transendental yang dihasilkan oleh proses rasional. Adanya kesadaran akan pentingnya penghormatan atas esensi kemanusiaan tidak hanya muncul dari refleksi kognisi-objektif. Basis etis bagi hak asasi manusia justru muncul dari penguatan sentimentalitas dalam interaksi peradaban manusia. Dimana sentimentalitas tersebut tidak pernah tercipta tanpa adanya interaksi dan komunikasi intersubyektif yang intens yang memungkinkan penghormatan akan esensi kemanusiaan lahir dari sisi sentuhan afeksi. Sentuhan afeksi inilah yang menjadi basis pijakan yang kuat bagi terwujudnya solidaritas. Sentuhan afeksi memungkinkan pemaknaan dasar akan esensi kemanusiaan keluar dari jebakan-jebakan anatomi tubuh, jenis kelamin, dsb. Argumen di atas juga semakin menguat ketika ternyata isu-isu hak asasi manusia yang terbangun dari sentuhan sentimentalitas-afeksi mampu dikomunikasikan dalam lintas budaya. Sentuhan afeksi mampu membangun solidaritas sebagai objektifitas baru yang memmungkinkan adanya kesepakatan kolektif antar komunitas. Hal ini bisa terlihat jelas ketika nirkekerasan mampu menjadi nilai hak asasi manusia yang dipersepsikan, dialami dan dirasakan dan bisa diprediksi secara universal. Tentu saja dengan catatan bahwa semuanya berasal dari proses pemaknaan terus-menerus akan ekspresi-ekspresi dan interaksi simbolik kultural dalam setiap komunitas maupun antar komunitas. Ini berarti akan ada proses pemaknaan yang dinamis, historis dan tidak pernah keluar dari konteks ruang dan waktu. Oleh karena itu, dengan tanpa menafikan satu dengan yang lain, menempatkan sentimentalitas selain rasionalitas sebagai basis pijakan pengetahuan yang mendasari isu hak asasi manusia menajdi sebuah hal yang tidak terelakkan. Wallahu alam bishshowwab Sumber Refleksi *HASRUL HANIF |