IMG_2388IMG_2422IMG_2592IMG_2329
Banyuwangi dan Problem Seni Tradisi
Oleh Nunung Q (Tim Kerja Lafadl Initiatives) | Kamis, 04 Oktober 2007

(Penggalan dari satu tulisan panjang berjudul Amuk Rakus Industri dan Napas Sengal Perempuan Seni Tradisi yang akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Kajian Perempuan Desantara-Srinthil)

Macho

Bokong Semok..semok...semok
Bokong Semok..semok...semok
Rambut disanggul.. sanggul nganggo culuk
Bokong Semok..semok...semok
Bokong Semok..semok...semok
Rambut digelung.. gelung..digelung miring
Sopo baen mesti ngomplong melengok

Aran Bokong Nongko sesigar Eyae
Aran Alis Nanggal Sepisan
Kulit Kuning Lare
Kulit Kuning Langsat
Gawe Kang Nyawang
Ngeleg Idu Gorokan Asat

Itulah dua penggal bait lagu yang masih hangat ditelinga saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi pada 1 Agustus 2007 lalu. Ada begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti saya ketika pertama kali lagu itu terdengar. Lebih-lebih selama satu bulan penuh saya tinggal di desa yang terletak di kaki Gunung Ijen--ujung paling timur pulau Jawa ini tak pernah sekalipun saya mendengar lagu-lagu yang kebanyakan anak muda sekarang gandrungi. Apakah itu lagu-lagu manis khas Ungu, Krisdayanti, Dewa atau Chrisye, tiada pernah saya mendengarnya barang sekalipun.

 

 

 

 

 

 

 

Keheranan saya memuncak ketika lagu-lagu semacam itu—orang menyebutnya lagu Banyuwangen—diputar tak henti-hentinya di belakang penginapan saya. Usut punya usut lagu itu berasal dari rumah jejaka muda bernama Anto (27th). Ternyata dia memang pecinta lagu-lagu Banyuwangen. Hampir 80 persen koleksi kasetnya adalah musik tradisi Banyuwangi. Anto bukanlah satu-satunya penyuka musik Banyuwangi. Pak Haji Safi’i juga kerap sekali memutar lagu-lagu tersebut. Bahkan terkadang dia juga meminta kami untuk turut menikmati. Dan, setiap kali berjalan menuju suatu tempat, musik yang sama terdengar begitu kerasnya dari setiap rumah yang saya lewati. Musik ini sepertinya banyak digandrungi oleh hampir seluruh masyarakat Kemiren. Terbukti, selain di putar di setiap rumah, ia juga kerap sekali diputar pada setiap perhelatan, seperti: perkawinan, khitanan dan acara Agustus-an.

Balai desa yang terletak 50 m disebelah timur pemondokan juga tidak ubahnya dengan tempat yang lain, memutar musik yang sama: musik Banyuwangen. Saya menduga pemutaran musik di balai desa merupakan tanda agar warga kampung segera datang karena biasanya ada sebuah acara penting yang perlu dihadiri. Barangkali ini sudah menjadi kesepakatan warga Kemiren tanpa harus dituliskan dengan jelas. Seperti yang pernah saya lihat, ketika ada acara sosialisasi program kepala desa di desa tersebut tak henti-hentinya musik Banyuwangen diputar dengan kerasnya. Tentunya ada panitia yang turut mengumumkan disela-sela lagu itu didendangkan bahwa ada pertemuan penting di balai desa tersebut. Dan beberapa saat kemudian satu dua orang datang kemudian disusul dengan yang lain.

Selama hampir satu bulan saya tinggal di desa Kemiren ini, saya mengamati, ada kebiasaan menarik yang dilakukan kebanyakan masyarakat dalam memutar lagu-lagu Banyuwangen. Lagu-lagu tersebut diputar dengan volume yang sangat keras, seakan-seakan sengaja ingin mengajak pada setiap orang yang mendengar untuk turut menikmati. Uniknya tak ada satupun warga yang memrotes hal itu. Berbeda sekali di tempat lain, ketika ada satu orang saja memutar musik dengan volume yang keras secara otomatis akan ada sejumlah orang menampakkan ketidaksetujuannya, baik secara langsung seperti menegur, atau hanya sekedar mencemooh. Lagi-lagi, ketika sedang menulis artikel ini saya dikagetkan oleh deru motor yang sengaja dimainkan gasnya, bunyi klakson bersahutan, juga terdengar suara perempuan melantunkan tembang yang belakangan saya ketahui berjudul Ojo Cilik Ati (Lagu Banyuwangen yang dinyanyikan Catur Arum, seniman musik Banyuwangi, namun popular dengan versi gandrung disco oleh gandrung Temu, perempuan seni tradisi Banyuwangi)

 

 

 

 

 

 



Betul saja nampak anak-anak kecil berlarian mengejar sumber suara, 4-5 orang terlihat bergerombol di halaman rumah masing-masing, juga di depan balai desa. Dua buah mobil colt warna hitam melintas, satu mobil pertama mengangkut sounds system dan di depannya seorang laki-laki berkostum gandrung sehingga nampak seperti perempuan menari dengan lincahnya mengikuti irama musik Ojo Cilik Ati. Mobil lainnya membawa sekitar 15 orang yang kebanyakan laki-laki, berseragam kaos warna merah. Mereka berdiri bersorak “Hidup Jamilah, hidup Jamilah”.

Ternyata hari itu 27 Agustus 2007 adalah waktu yang disediakan bagi calon kepala desa Kemiren untuk berkampanye, manarik pendukung sebanyak-banyaknya. Inilah hajatan demokrasi ala Kemiren yang sedianya dilaksanakan 1 September 2007 nan penuh hingar bingar musik Banyuwangen. Begitu melekatnya musik tradisi Banyuwangi, hadir di manapun dan kapanpun keramaian itu ada, tak pernah terlewati sekalipun.

Bahkan, ada sebuah cerita menarik. Di Banyuwangi seorang pengamen tidak akan pernah dihirauakan apalagi diberi upah mengamen jika tidak menyanyikan lagu-lagu Banyuwangi. Pernah suatu malam ada sekelompok pengamen yang sedang menghibur dari satu tempat ke tempat yang lain. Satu dua tiga orang mulai berdatangan menikmati setiap nada yang keluar dari alat musik yang mereka bawa—gitar dan perkusi— ditambah suara apik dari sang vokalnya, sungguh sebuah harmonisasi yang sempurna tercipta dari alat yang sangat biasa. Banyak juga para penonton yang meminta mereka menyanyikan lagu-lagu tertentu. Salah seorang penonton meminta lagu Kerispatih yang terkenal kala itu. Tiada saya duga pemuda itu dalam bahasa Using mengungkapkan, “wah, nanti tidak ada yang mau bayar saya Mbak!”

 

 

 

 

Begitulah cara orang Banyuwangi menghargai dan mencintai seni tradisinya. Masyarakat Banyuwangi memang sangat memelihara seni tradisi yang telah diwarisi dari nenek moyang. Banyak sekali jenis seni tradisi yang hadir di kota yang dulunya disebut sebagai Blambangan ini. Unsur musik seolah menjadi syarat dalam seni tradisi daerah ini. Lihat saja misalnya angklung, kuntulan, patrol, janger dan gandrung. Musik hadir dan menjadi bagian penting seni tradisi ini.

Perkembangan selanjutnya seni-seni tersebut, yang pada awalnya merupakan ritual, semacam seblang, atau alat perjuangan, seperti gandrung, yang syarat dengan musik tradisi mulai bergeser. Beberapa unsur non syair gandrung Banyuwangi mulai masuk dan diterima masyarakat. Konon perkembangan jaman dan perubahan interaksi dalam kehidupan sosial masyarakat menjadikan beberapa pakem seni tradisi ini mulai berubah. Apakah nantinya menjadi sekedar hiburan semata dan bernilai ekonomi. Atau karena akulturasi yang terjadi perlahan dalam struktur budaya Banyuwangi yang mulai berbudaya ragam. Sebagai contoh kesenian gandrung yang semakin jauh dari awal kelahirannya, dan bahkan pada jaman gandrung Semi (Gandrung Semi adalah gandrung perempuan pertama yan Hg menandai berakhirnya peran laki-laki dalam seni tari berpasangan ini. Semi yang lahir dari pasangan imigran Jawa mulai dikenal pada awal abad XX.) muncul lagu-lagu non Banyuwangi untuk dibawakan dalam pertunjukan gandrung. Terlebih saat ini, untuk memenuhi selera pasar lagu-lagu dalam kesenian gandrung ini telah dimodifikasi dalam banyak ragam dan rupa, seperti disco, jaipong dan lain sebagainya. Masuknya industri rekaman, nampaknya membuat seni-seni itu dimodifikasi menurut selera pasar juga.

 

 

 

 

 

 

 

 



Namun dari seluruh kesenian yang ada, gandrung menjadi yang sangat populer dan banyak diminati dibandingkan dengan yang lainnya. Barangkali karena akar sejarahnya yang sangat kuat yang menjadi cikal bakal hadirnya masyarakat Banyuwangi. Hingga ketika Banyuwangi dibawah pimpinan Samsul Hadi pada tahun 2000-2005, gandrung menjadi pilihan untuk identitas kota ini. Pada tahun-tahun itu bisa dikatakan Banyuwangi dihujani oleh patung gandrung. Disetiap pertigaan, perempatan, maupun gedung-gedung pusat pemerintahan patung gandrung selalu ada di sana.

Salah satu pelaku seni tradisi yang masih eksis hingga hari ini adalah Temu atau biasa dikenal dengan Mbok Temu. Kebetulan sekali dia adalah pelaku seni gandrung yang mumpuni dan disegani. Lebih dari 38 tahun dia melakoni hidupnya sebagai penari gandrung. Ketika dunia rekaman musik lokal Banyuwangi mulai berkembang Temu juga ikut menyemarakkan. Hingga sampai hari ini lebih dari 10 album telah dihasilkannya. Sambutan luar biasa dari masyarakat ini ternyata tidak hanya di Banyuwangi. Konon ribuan albumnya juga terjual hingga ke manca negara semacam Eropa, Afrika dan Amerika. Terbayang kehidupan Temu yang pastilah serba kelebihan, seperti artis-artis ibu kota sekarang ini yang hanya dengan manyanyi sekali saja seketika bisa membeli mobil, rumah dan apapun yang diinginkannya. Ternyata Temu bukan layaknya artis masa kini, dengan ketenarannya dia hidup sangat memprihatinkan—untuk tidak mengatakan hidup miskin. Tidak tahu bagaimana mengukur kemiskinan, yang jelas secara kasat mata terlihat jelas bagaimana kehidupannya yang serba sangat kekurangan. Jelas tidak sebanding dengan jerih lelahnya berkutat dengan dunia rekaman selama ini.

Kabupaten Banyuwangi adalah daerah agraris yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Memiliki wilayah luas nan subur, daerah yang dikepung gunung, laut dan hutan ini terkenal dengan hasil sawahnya yang melimpah. Terdiri dari 24 kecamatan. Secara demografis Banyuwangi tersebar dalam tiga kelompok besar masyarakat yakni Using, Jawa dan Madura. Komunitas Using tersebar di 10 kecamatan dengan menempati sebagian kecil wilayah Genteng, Sempu, Rogojampi, Kabat, Singojuruh, Giri, Glagah, Banyuwangi kota dan Kalipuro. Sedang etnis Madura banyak terdapat di daerah pantai, selatan wilayah Banyuwangi, dan daerah utara perbatasan Situbondo. Etnis Jawa banyak terdapat di daerah selatan Banyuwangi semacam Purwoharjo, Pesanggaran dan Genteng. Kemudian etnis minoritas Bali dan Mandar terdapat di daerah Banyuwangi kota.

Oleh beberapa kalangan komunitas Using dianggap komunitas yang paling lama mendiami wilayah Banyuwangi karenanya dianggap sebagai komunitas asli Banyuwangi. Kehadiran suku-suku yang lain seperti Jawa, Madura, Bugis tidak merubah pandangan umum termasuk orang Using sendiri bahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat Using Kota yang dulunya bernama Blambangan ini juga kaya akan seni tradisi, sebut saja kebo-keboan di Alas Malang, seblang di Oleh Sari, endog-endogan, janger, kuntulan, angklung, damarulan, barong, mocoan pacul goang, jaranan buto, patrol hingga gandrung yang lebih populer dari yang lainnya.

Beberapa seni tradisi yang diantaranya adalah kuntulan, janger, angklung, idher bumi, barong, seblang dan gandrung penuh dengan syair dan iringan musik. Kelahiran seni tradisi ini tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan masyarakat setempat. Seni-seni itu hadir tidak jauh dari keseharian hidup mereka. Sebagai daerah yang banyak dialiri sungai-sungai Banyuwangi sangat diuntungkan, karena dengan demikian sumber utama penghasilan penduduknya berasal dari hasil-hasil pertanian. Bahkan pernah kabupaten ini manjadi salah satu yang masuk kategori penghasil padi terbesar di propinsi Jawa Timur. Dan seni tradisi itu juga lahir tidak jauh dari hal-hal yang bersifat pertanian.

Sebagai contoh adalah kesenian angklung yakni musik tradisi yang perlatannya menggunakan bilah-bilah bambu yang diatur dalam pangkan dengan nada slendro (Jawa) ditambah dengan kendang, gong dan saron. Kesenian ini muncul ketika pesta panen—angklung digunakan untuk mengiringi gerak ani-anian padi. Sekarang angklung berkembang sangat pesat dan mengalami banyak varian seperti angklung paglak (gubuk sawah) yang merupakan cikal bakal kesenian angklung, angklung tetak, angklung dwi laras dan angklung Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.

Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan urat nadi mereka. Ia tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian adalah nafas mereka, ritual yang mengandung makna spiritual—yang selalu dekat dengan kehidupan mereka. Dalam upacara ritual seperti merayakan dewi kesuburan dan mohon keselamatan semacam seblang, kebo-keboan dan idher bumi, lagu nampak menjadi bagian dari mantra ritual. Sama halnya dengan penganut agama Islam yang melakukan ibadah sholat sebagai ritual sehari-hari, atau penganut agama Hindu yang setiap harinya selalu berdoa ke Pura.

Gandrung sebagai salah satu seni yang lahir dan berkembang di Banyuwangi kemunculannya juga karena keadaan sosial waktu itu. Ia lahir sejak tahun 1774 pada awal zaman pemerintahan Raden Tumenggung Wiraguna I (Mas Alit)—Bupati pertama yang memimpin Banyuwangi. Menurut Fatrah Abal, seorang pengamat dan budayawan Banyuwangi, kemunculan seni gandrung tidak terlepas dari sejarah berdirinya wilayah Banyuwangi sendiri--bersamaan dengan dibabatnya wilayah hutan menjadi wilayah Banyuwangi. Ketika itu seni gandrung digunakan sebagai alat perjuangan, untuk memberikan pengaruh dan mengajak sisa-sisa masyarakat Blambangan yang masih terpencar diwilayah pegunungan setelah perang puputan bayu yang menyisakan tidak lebih darui 5000 orang agar berkumpul kembali membentuk kehidupan baru. Mereka menempati daerah-daerah subur dan berair sepanjang tahun di daerah kaki gunung Ijen, condong menjauh dari pantai. Selanjutnya mereka inilah yang pada akhirnya menempati Banyuwangi dan disebut sebagai masyarakat Using.

Sekitar tahun 1774 hingga 1895 penari gandrung adalah laki-laki. Dengan berbekal alat musik berupa kendang dan rebana para lelaki ini kemudian berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain menyebarkan pesan-pesan berupa puisi yang konon datangnya dari Bupati Alit untuk disampaikan pada para sisa-sisa prajurit Blambangan. Sandi yang rumit dan hanya mampu dipahami oleh sesepuh prajurit inilah yang membuat pesan-pesan ini dirubah menjadi lagu atau pantun yang lebih mudah dipahami. Pesan ini biasanya berisikan antara lain ajakan untuk kembali membangun kehidupan baru, menyelamatkan anak-anak sisa perang dan juga berceritera tentang kondisi perang pada waktu itu. Seperti lagu sekar jenang yang berisikan bagimana perang puputan bayu berlangsung. 

Sekar sekar Jenang
Maondang dadari kuning
Temuruno ageng alit
Kaulo nyuwun sepuro

Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung numpak kereta

Lilira kantun
Sang kantun lilia putra
Sapanen dayoh rika
Mbok srungkubo milu tama

Lilira guling
Sabuk cinde ring gurise
Kakang ngelilira
Sawah bendo ring selaka

Perkembangan selanjutnya penari gandrung tidak lagi laki-laki namun telah berganti perempuan. Semi diyakini sebagai perempuan pertama yang menjadi penari gandrung. Pergantian ini disanyalir karena masuknya pasukan Belanda di daerah Banyuwangi untuk membuka perkebunan yang kemudian mendatangkan pekerja dari berbagai daerah; jawa, madura, dan lain sebagainya. Selain itu pembuatan Jalan Raya Pos Anyer – Panarukan Daendels juga sedikit banyak mempengaruhi karena juga mendatangkan para pekerja dari berbagai daerah. Kedatangan para pekerja membuat komposisi masyarakat Banyuwangi tidak lagi homogen. Heterogenitas inilah satu diantarnaya yang mempengaruhi pergantian tersebut. Pengaruh kedatangan Belanda juga terlihat dari kostum yang dikenakan penari yakni kaos kaki, dan juga pada alatnya mengalami penambahaha berupa biola dan kluncing dari yang sebelumnya hanya berupa kendang dan rebana.

 

 

 

 

 

 

Dari sini kemudian kesenian gandrung telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Ia tak lebih dari sebuah hiburan yang dipertontonkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Walaupun sebagai hiburan pementasan gandrung tidak sepenuhnya meninggalkan tujuan awal dihadirkannya seni tersebut. Terbukti dalam pementasannya walaupun tidak semuanya syair-syair yang dinyanyikan masih banyak bercerita tentang perjuangan juga berisi tentang kritik-kritik sosial. Sayangnya, orde baru membuat imajinasi, kreativitas dan kekritisan seseorang tumpul dan atau ditumpulkan. Semua hal yang dianggap mengancam kekuasaan penguasa dibatasi bahkan dimusnahkan. Tak terkecuali lagu-lagu gandrung. Sehingga nasib gandrung kemudian menjadi kesenian rakyat yang hanya berfungsi sebagai hiburan saja dan jauh dari kritik sosial.

Dalam konteks inilah tersisa pertanyaan tentang bagaimana mekanisme pasar berlangsung dan kaitannya dengan nasib para perempuan seni tradisi? Dan sejauh mana perempuan seni tradisi ini bersiasat, bernegoisiasi, dan melakukan perlawanan atas kekuatan-kekuatan yang melingkari dirinya?

 
12.12.2007 | 15.00

15.02.2008 - 14.03.2008

23.02.2008 | 10.00
Diskusi Bulanan

30.04.2008 | 09.00
Bedah Buku Afrizal Malna

Mailist

Blog

Lafadlib

Pingsoet

 
  • Belasungkawa
    Lafadl Initiatives turut berbelasungkawa atas wafatnya Bapak Fauzan, ayah dari Achmad Uzair. Semoga Tuhan memberi beliau tempat terbaik di sisiNya. Semoga para kerabat, keluarga, dan sahabat yang ditinggalkan tetap diberi kesabaran dan ketegaran untuk menjalani...
  • Sensor adalah ?..
    Sensor adalah s e n s o r Secara sederhana sensor bisa diartikan sebagai pengawasan dan kontrol atas gagasan yang bersemi di tengah masyarakat. Biasanya sensor mengacu pada penyelidikan dan pengawasan ketat terhadap buku, majalah, naskah...
  • Say Cheese Say Alkmaar
    Achmad Uzair Dutch people have been commonly stereotyped as ?cheese head?society. The term does not only refer to their food habit, but also lexically refers to the way Dutch militia protected their head with cheese ?balls?...

Rafilus
Novel ini adalah salah satu dari karya Budi Darma yang sangat ...